Saturday, November 30, 2019

ANALGETIKA


ANALGETIKA
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Nyeri merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yaitu 44-45°C.
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di jaringan, seperti peradangan (rema, encok), infeksi jasad renik atau kejang otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis (kalor, listrik) dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri, antara lain histamine, bradikin, leukotriene dan prostaglandin.
Semua mediator nyeri itu merangsang reseptor nyeri (nociceptor)di ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksi radang dan kejang-kejang. Nociceptor juga terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak sinaps via sumsum-belakang sumsum lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri.
Mediator nyeri penting adalah amin histamine yang bertanggung jawab untuk kebanyakan reaksi alergi (bronchokonstriksi, pengembangan mukosa, pruritus) dan nyeri. Bradykinin adalah polipeptida (rangkaian asam amino) yang dibentuk dari protein plasma. Prostaglandin mirip strukturnya dengan asma lemak dan terbentuk dari asam arachidonat. Zat-zat ini meningkatkan kepekaan ujung saraf sensoris bagi rangsangan nyeri yang diakibatkan oleh mediator lainnya. Zat-zat ini berkhasiat vasodilatasi kuat dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan radang dan udema. Berhubung kerjanya serta inaktivasinya pesat dan bersifat lokal, maka juga dinamakan hormone lokal
Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) pada mana nyeri dirasakan untuk pertama kalinya. Dengan kata lain, intensitas rangsangan yang terendah saat seseorang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah konstan.
Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan anestetika umum).

Penggolongan Analgetik
Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu :
a.       Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang termasuk kelompok ini.
b.      Analgetika narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri yang hebat, seperti pada fractura dan kanker.
Penanganan Rasa Nyeri
Berdasarkan proses terjadinya, rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara yaitu dengan :
a.       Analgetika perifer, yang merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer
b.      Anestetika lokal, yang merintangi penyaluran rangsangan di saraf-saraf sensoris.
c.       Analgetika sentral (narkotika), yang memblokir pusat nyeri di SSP dengan anestesi umum
d.      Antidepressiva trisiklis, yang digunakan pada nyeri kanker dan saraf, mekanisme kerjanya belum diketahui, misalnya amitriptilin.
e.       Antiepileptika, yang meningkatkan jumlah neurotransmitter di ruang sinaps pada nyeri, misalnya pregabalin. Juga karbamazepin, okskarbazepin, fenitoin, valproate, dll.

ANALGETIKA PERIFER
Penggolongan
Secara kimiawi, analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu :
a.       Parasetamol
b.      Salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat
c.       Penghambat prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen, dll.
d.      Derivate-antranilat : mefenaminat, glafenin
e.       Derivate-pirazolinon : propifenazon, iso-propilaminofenazon dan metamizol.
f.       Lainnya : benzidamin (tantum)
Co-analgetika adalah obat yang khasiat dan indikasi utamanya bukanlah menghalau nyeri, misalnya antidepressiva trisiklis (amitriptilin) dan antiepileptika (karbamazepin, pregabalin, fenytoin, valproate). Obat-obat ini digunakan tunggal atau terkombinasi dengan analgetika lain pada keadaan-keadaan tertentu, seperti pada nyeri neuropatis.
Penggunaan
Obat-obat ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa nyeri tanpa memengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretis dan/atau antiradang. Oleh karena itu tidak hanya digunakan sebagai obat antinyeri, melainkan juga pada demam (infeksi virus/kuman, selesma, pilek) dan peradangan seperti rema dan encok. Obat-obat ini banyak diberikan untuk nyeri ringan sampai sedang, yang penyebabnya beragam, misalnya nyeri kepala, gigi, otot atau sendi (rema, encok), perut, nyeri haid (dysmenorroe), nyeri akibat benturan atau kecelakaan (trauma). Untuk kedua nyeri terakhir, NSAID lebih layak. Pada nyeri berat misalnya setelah pembedahan atau fraktur (tulang patah), kerjanya kurang ampuh.
Daya antipiretisnya berdasarkan rangsangan terhadap pusat pengatur kalor di hypothalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor yang disertai keluarnya banyak keringat.
Daya antiradang (antiflogitis). Kebanyakan analgetika memiliki daya antiradang, khususnya kelompok besar dari zat-zat penghambat prostaglandin (NSAIDs, termasuk asetosal), begitu pula benzidamin. Zat-zat ini banyak digunakan untuk rasa nyeri yang disertai peradangan.
Efek Samping
Yang paling umum adalah gangguan lambung-usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal dan juga reaksi alergi pada kulit. Efek-efek samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau dalam dosis tinggi. Oleh karena itu penggunaan analgetika secara kontinu tidak dianjurkan.
Interaksi kebanyakan analgetika memperkuat efek antikoagulansia, kecuali parasetamol dan glafenin. Kedua obat ini pada dosis biasa dapat dikombinasi dengan aman untuk waktu maksimal dua minggu.
Contoh Obat
1.      Ibuprofen
-      Indikasi
·         Karena efek analgetik dan antiinflamaninya maka dapat digunakan untuk meringankan ge)ala-ge)ala penyakit rematik tulang sendi dan nonsendi
·         Juga dapat digunakan untuk meringankan gejala-gejala akibat trauma otot dan tulang+ sendi &trauma musculoskeletal.
·         Karena efek analgetiknya maka dapat digunakan untuk meringankan nyeri ringan sampai sedang antara lain nyeri pada dismenore primer (nyeri haid), nyeri pada penyakit gigi atau pencabutan gigi, nyeri setelah operasi
-      Mekanisme Kerja
Ibuprofen beker)a dengan cara menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambatan secara reversible kerja enzym siklooksigenase (COX1 dan COX2). Ibuprofen berikatan nonkovalen dengan enzym tersebut (berbeda dengan aspirin), sehingga terjadi kompetisi antara ibuprofen dengan asam arakidonat. Penghambatan sintesis prostaglandin memberikan efek antiinflamasi, analgetik dan antipiretik.


ANALGETIKA NARKOTIK
Analgetika narkotik disebut juga opioida adalah obat-obat yang daya kerjanya meniru (mimic) opioid endogen dengan memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor opioid (biasanya µ-reseptor). Zat-zat ini bekerja terhadap reseptor opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan respons emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi). Daya kerjanya diantagonir oleh antara lain nalokson. Minimal ada 4 jenis reseptor, yang pengikatan padanya menimbulkan analgesia
Penggolongan
Atas dasar cara kerjanya, obat-obat ini dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu :
a.       Agonis opiate, yang dapat dibagi menjadi :
-          Alkaloida candu : morfin, kodein, heroin, nikomorfin
-          Zat-zat sintesis : metadon dan derivatnya (dekstromoramida, propoksifen, bezitramida), petidin dan derivatnya (fentanyl, sufentanil) dan tramadol.
Cara kerja obat-obat ini sama dengan morfin, hanya berlainan mengenai potensi dan lama kerjanya, efek samping dan risiko akan kebiasaan dengan ketergantungan fisik.
b.      Antagonis opiate : nalokson, nalorfin, pentazosin dan buprenorfin. Bila digunakan sebagai analgetikum, obat-obat ini dapat menduduki salah satu reseptor
c.       Campuran : nalorfin, nalbufin. Zat-zat ini dengan kerja campuran juga mengikat pada reseptor-opioid, tetapi tidak atau hanya sedikit mengaktivasi daya kerjanya. Kurva dosis/efeknya memperlihatkan plafon, sesudah dosis tertentu peningkatan dosis tidak memperbesar lagi efek analgetiknya. Praktis tidak menimbulkan depresi pernafasan.


Potensi Analgetik
Khasiat analgetik dari morfin oral 30-60 mg dapat disamakan dengan dekstromoramida 5-10 mg, metadon 20 mg, dekstropropoksifen 100 mg, tramadol 120 mg, pentazosin 100/800 mg dan 200 mg.
Khasiat analgetik dari morfin subkutan/i.m. 10 mg adalah kurang lebih ekivalen dengan fentanyl 0,1 mg, heroin 5 mg, metadon 10 mg, nalbufin 10 mg, petidin 75/100 mg, pentazosin 30/60 mg dan tramadol 100 mg

Mekanisme Kerja
Endorphin bekerja dengan jalan menduduki reseptor-reseptor nyeri di SSP, hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat analgetik opioida berdasarkan kemampuannya untuk menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang belum ditempati endorphin. Tetapi bila analgetika tersebut digunakan terus menerus, pembentukan reseptor-reseptor baru distimulasi dan produksi endorphin di ujung saraf otak dirintangi. Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan.
Penggunaan
-          Rasa nyeri hebat
Ada banyak penyakit yang disertai rasa nyeri, yang terkenal adalah influenza dan kejang-kejang (pada otot dan tangan), artrose dan rema (pada sendi) dan migraine. Untuk gangguan ini tersedia obat-obat khas (antara lain parasetamol, NSAIDs, sumatriptan). Tetapi yang paling hebat dan mencemaskan adalah rasa sakit pada kanker.  Prinsip untuk menghilangkan atau mengurangi rasa sakit berupa penelitian dengan seksama penyebabnya, obat-obat apa yang layak digunakan sesuai tangga analgetika dan memantaunya secara periodic untuk mendapatkan cara pengendalian rasa sakit yang optimal.
Tangga analgetika (tiga tingkat)
WHO telah menyusun suatu program penggunaan analgetika untuk nyeri hebat, seperti pada kanker, yang menggolongkan obat dalam tiga kelas yaitu :
a.       Non opioida : NSAIDs, termasuk asetosal, parasetamol dan kodein
b.      Opioida lemah : d-propoksifen, tramadol dan kodein, atau kombinasi parasetamol dengan kodein
c.       Opioida kuat : morfin dan derivatnya (heroin) serta opioida sintesis
Menurut program pengobatan ini pertama-tama diberikan 4 dd 1 g paracetamol, bila efeknya kurang, beralih ke 4-6 dd parasetamol-kodein 30-60 mg. baru bila langkah kedua ini tidak menghasilkan analgesi yang memuaskan, dapat diberi opioid kuat. Pilihan pertama dalam hal ini adalah morfin (oral, subkutan kontinu, intravena, epidural atau spinal).

Efek-Efek Samping Umum
Morfin dan opioida lainnya menimbulkan sejumlah besar efek samping yang tidak diinginkan, yaitu :
-          Supresi SSP, misalnya sedasi, menekan pernapasan dan batuk, miosis, hypothermia dan perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi langsung dari CTZ (Chemo Trigger Zone) timbul mual dan muntah. Pada dosis lebih tinggi mengakibatkan menurunnya aktivitas mental dan motoris
-          Saluran napas : bronchokonstriksi, pernapasan menjadi lebih dangkal dan frekuensinya menurun
-          Sistem sirkulasi : vasodilatasi perifer, pada dosis tinggi hipotensi dan bradycardia
-          Saluran cerna : motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfingter kandung empedu (kolik batu-empedu), sekresi pancreas, usus dan empedu berkurang
-          Saluran urogenital : retensi urin (karena naiknya tonus dari sfingter kandung kemih), motilitas uterus berkurang (waktu persalinan di perpanjang)
-          Histamine-liberator : urticarial dan gatal-gatal, kerna menstimulasi pelepasan histamine
-          Kebiasaan dengan risiko adiksi pada penggunaan lama. Bila terapi dihentikan dapat terjadi gejala abstinensi

Kebiasaan dan Ketergantungan
Penggunaan untuk jangka waktu lama pada sebagian pemakai menimbulkan kebiasaan dan ketergantungan. Penyebabnya mungkin karena berkurangnya resorpsi opioid atau perombakan/eliminasinya yang dipercepat, atau bisa juga karena penurunan kepekaan jaringan. Obat menjadi kurang efektif, sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk mencapai efek semula. Peristiwa ini disebut toleransi (menurunnya respon) dan bercirikan pula bahwa dosis tinggi dapat lebih diterima tanpa menimbulkan efek intoksikasi.
Gejala abstinensi (withdrawal syndrome) selalu timbul bila penggunaan obat dihentikan dengan mendadak dan semula dapat berupa menguap, berkeringat hebat dan air mata mengalir, tidur gelisah dan kedinginan. Lalu timbul muntah-muntah, diare, tachycardia, mydriasis (pupil membesar), tremor, kejang otot, peningkatan tensi, yang dapat disertai dengan reaksi psikis hebat (gelisah, mudah marah, kekhawatiran mati).
Ketergantungan fisik lazimnya sudah lenyap setelah penggunaan obat dihentikan. Ketergantungan psikis sering kali sangat erat, maka pembebasan yang tuntas sukar sekali dicapai.

Permasalahan
1.   Bagaimana dengan waktu paruh kedua analgetik tersebut diatas?
2.   Apa yang terjadi jika seseorang menggunakan salah satu analgetik ini secara berulang tanpa indikasi yang benar?
3.   Apa saja analgetik turunan morfin dan bagaimana mekanisme kerjanya?

Daftar Pustaka
Tjay, T.H., dan Rahardja K. 2008. Obat-Obat Penting, Gramedia, Jakarta.

2 comments:

  1. Saya akan menjawab pertanyaan nomor 3 contoh analgetik turunan morfin yaitu asetilmorfin, dihidromorfin dan normorfin. Mekanisme kerja analgetik dari morfina berdasarkan penekanannya pada susunan saraf sentral yang disertai dengan perasaan nyaman, menghambat pernafasan dan dapat menimbulkan batuk.
    Penggunaannya : untuk mengobati rasa sakit yang tidak dapat disembuhkan dengan analgetika antipiretik, misalnya pada kanker, menahan rasa sakit pada waktu operasi, dan sebagainya.

    ReplyDelete
  2. Saya akan mencoba menjawab permasalahan no 1. Dimana waktu paruh merupakan waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat.kalau dilihat dari salah satu contoh obat dari kedua golangan tersebut yaitu kodein waktu separuh 2-4jam sedangkan amidopirin waktu paruhnya 2-3jam menunjukkan analgesik nonnarkotik lebih cepat

    ReplyDelete